Rabu, 15 Februari 2017

Rindu yang Basah

Rindu datang lalu ia memutuskan membeli kertas cantik untuk mengemas. Ternyata hujan berkali-kali jatuh setelahnya, dan tak ada yang mampu ia selamatkan: kertas cantik ataupun rindu yang basah.

Sabtu, 10 September 2016

Rajah

"Barangkali selamanya akan seperti ini, ketika kamu sudah bisa kembali merasakan seperti apa itu normal, di saat-saat tertentu perasaan itu datang lagi. Merasa terasing, mata awas warasmu diambil, lalu sejenak tidak berfungsi."

Mungkin ini adalah rajah yang akan ia bawa seumur hidupnya. Tugasnya adalah menemukan cara bagaimana mengatasinya bila sewaktu-waktu tanpa pamit terlebih dulu ketakutan itu merengut fungsi hidupnya.

Kamis, 01 September 2016

Gemetar

Tangannya takut
Kakinya takut
Punggungnya, sepertinya tidak takut
tapi membungkuk seperti orang tua yang tidak kuat menopang tulang-tulang sedikit otot tak ada lemak

Senin, 22 Agustus 2016

Seperti Bayi Merah

Ia mengumpamakan seperti orang dewasa yang disulap menjadi bayi merah tapi engkau, bayi merah itu, masih ingat engkau pernah sudah tak di kondisi tak bayi merah, sudah pernah dewasa. Engkau lupa bagaimana rasanya dewasa, tapi engkau ingat sudah pernah tak jadi bayi merah lagi.

Maka, katanya, kadang ingin buru-buru ada di posisi dewasa lagi. Padahal bayi merah harus membangun semuanya pelan-pelan: perkenalan (kembali) terhadap rasa percaya, rasa aman, rasa tak asing pada dunia, mengenali afeksi, semuanya harus dikenali dan dibangun kembali perlahan. Jangan dipaksa, baik oleh diri sendiri atau sekitar.

Perlahan, sabar, pelan-pelan, butuh waktu.

Pemaksaan hanya akan membangun benteng yang prematur. Segera ambruk, lebih buruk lagi, robohannya bisa membunuh bayi merah.

Kamis, 18 Agustus 2016

Kapan Sudah

"Saya suka merasa clueless dengan diri sendiri," matanya menghindari kontak, seharian tadi ia baru saja menghabiskan waktu dengan manusia lain. Pergi konseling, lalu pergi nonton dan makan dengan pendampingnya yang lain dan teman dekat.

"Dari pertemuan pertama dua bulan lalu ke sekarang sudah banyak kemajuan. Terlihat lebih fresh dan tenang :)" ia menirukan ucapan konselornya. Ia juga menyadarinya, dan memang itu tujuannya menarik diri dulu dari orang-orang: memberi waktu pada dirinya, agar tenang, bisa berdamai dengan diri sendiri lalu bisa kembali mencintai dirinya agar bisa kembali punya mimpi lalu bisa melanjutkan hidup dengan mandiri. Semoga lekas, ia berharap.

Menonton, makan, mengobrol, tiga jam dan ia sudah mulai merasa kelelahan. Tak apa, pertemuan kali ini ia menyadari satu hal: ia takut dengan waktu sekarang dan dirinya yang sekarang sehingga ia membenci waktu sekarang dan dirinya, berharap segera besok atau nanti kapanpun yang bukan sekarang karena berharap nanti kondisinya sudah baik, sudah sembuh. Main dengan manusia kali ini membuatnya sadar itu sebab kali ini dia bisa menikmati waktu sekarang, mencintai dirinya yang sedang menonton dan makan itu, nyaman dan bisa berinteraksi tanpa ketakutan yang disimpan diam-diam. Bahwa tiga jam sudah merasa lelah, cukup terbayar dengan ia mulai bisa mencicipi rasanya kembali mencintai sekarang, ia jadi paham kenapa orang-orang normal di sekelilingnya bisa mencintai hidupnya, mencintai aktivitasnya sehari-hari tanpa merasa asing mengapa masih berada di hidup ini alih-alih memilih mampus.

Paling sepulangnya hanya butuh menangis sepuasnya, tak akan ada panic attack. Hitungannya benar, tak ada panic attack. Ia menangis sembari mengigau minta obat tidur seperti sudah-sudah. Tentu saja tidak diberi. Menangis setelah bertemu manusia memang situasi yang tidak mudah baginya. Di saat seperti itu rasa bencinya pada diri sendiri muncul kuat. Karena ia tahu ia sedang tak bisa benar-benar sadar, ia sedang tidak bisa mengontrol dirinya dan berfungsi sebagaimana manusia seharusnya, ia sedang dibayangi oleh ketakutan dan itu membuatnya membenci benar.

Tapi ini akan segera terlewati, bertemu manusia lalu sejenak kembali tidak waras hanyalah bagian dari proses yang harus dilewatinya untuk sembuh. Ia puas menangis dan mengigau, sudah lebih tenang. Nanti bisa berlatih bertemu manusia lagi.

Tapi ternyata, setelahnya, datang serangan tak ia duga dan belum pernah ia tahu, itu membuatnya shock. Kepalanya sakit sekali, kepercayaan dirinya yang sedang pelan-pelan ia bangun seperti diserang tiba-tiba, direngut tanpa sisa, sisa dirinya yang gamang dihempaskan ke kolam renang tanpa dasar yang menakutkan. Ia limbung, rasa bencinya menjadi-jadi. Ia benci dengan dirinya yang sedang diserang perasaan yang ia belum tahu apa. Ia benci pada dirinya yang sepulang bertemu teman dekat saja kelelahan. Ia benci, ia benci. Ia benci bertemu orang. Ia benci tak bisa berfungsi normal selain bersama pendamping. Ia benci, ia hanya ingin sudah, ingin sudah. Sudah. Sudah. Hari esok atau nanti atau kapanpun yang bukan sekarang tak akan pernah membaik, tidak akan pernah ada baik. Ia hanya ingin sudah, tapi ia tahu, ia masih takut mati. Tapi ia ingin sudah. Ingin sudah.

Ternyata ada yang lebih menakutkan dari serangan kepanikan, adalah semacam serangan kosong setelah kesembuhan yang sedang pelan-pelan kau bangun direngut tiba-tiba, tiba-tiba seperti kamu mengedip semuanya sudah hilang direngut, tak ada pertanda, tak ada alarm ketakutan mendesir sebelumnya. Sekedip mata kamu ditinggalkan kosong dan terkejut. Tak bersisa, tak berdasar. Tubuhmu seperti tidak nyata, dan tidak ada yang ditinggalkan untuk bisa berharap esok lebih baik. Itu menakutkan, melebihi serangan ketakutan.

Jumat, 12 Agustus 2016

Tangis

Hari ini ia menangis. Menangisi ketakutan yang selama ini tak pernah ia tangisi. Rasa takut yang selama ini ia hadapi dengan marah sebab yang ia tahu agar tetap bertahan hidup ia tak boleh lemah atau terlihat lemah agar tidak ambruk. Tapi ternyata itu hanya melumatnya pelan-pelan, hingga tak ada bagian dirinya yang tersisa. Dan ia kehilangan diri. Ia menangis untuk apa yang telah hilang dan akan ia rebut kembali.

Rabu, 10 Agustus 2016

Takut, Marah dan Setan

Perasaannya kacau. Janji konsultasi dengan dengan konselor berantakan karena admin lembaga luput. Konsultasi kali kedua, sengaja ia memberanikan datang sendiri tanpa didampingi siapa-siapa, batal dan konselornya sedang tidak ada di tempat. Menempuh perjalanan umum dari kota T ke kota J nyaris dua jam.

Ia ingin menangis di tempat, tapi ia sanggup menenangkan diri. Ia ingin marah -- perasaan-perasaan, rasa sakit, ketakutan, kisah-kisah, dan rahasia yang berhasil ia simpan dengan baik yang hanya ingin ia ceritakan kepada konselornya seorang terasa sejenak merengut, tapi ia sanggup mengendalikan  diri dengan lekas. Ia tidak jadi menangis, ia tidak jadi marah, tapi ia masih kacau. Gamang, pulang -- menangis lalu tidur seharian -- atau menemui teman dekat yang janji pertemuan datang darinya.

Ia membenci berjumpa dengan orang, orang-orang yang mengenalnya dan ia kenal. Ia senantiasa ketakutan sebelum perjumpaan yang direncana atau tidak, ia takut tidak bisa mengobrol dengan baik, ia takut kikuk, ia takut orang-orang itu tidak bisa menerima dan memakluminya jika ia hanya diam, atau tenaganya sudah habis untuk pura-pura terlihat baik-baik saja dan untuk terlibat dalam percakapan, bahkan bila dengan yang dulu ia anggap teman terdekat sekalipun. Ia tidak bisa menikmati perjumpaan dengan manusia.

Tapi kapan lagi ia berani bertemu dengan teman, ia sendiri yang menawarkan, dalam waktu yang tampaknya akan agak lama -- lebih dari satu dua jam batas kesanggupannya bertemu dengan orang lain sebelum ini-- dan sendirian, tanpa ditemani orang yang mendampinginya berpergian keluar selama ini. Ia memutuskan tetap memberanikan diri. Ia sudah menghitung, rasanya ia dalam kondisi mental yang sudah lebih siap untuk menambah daftar orang yang mentalnya ia percaya untuk ia temui secara personal dan sendirian, orang yang akan ia temui ini ingin ia masukkan ke dalam daftarnya yang sebelumnya berisi tiga orang saja.

Ia menemui orang itu, teman perempuannya. Ia bisa mengobrol dengan baik, ia berani terbuka, kemampuannya bercanda dan menggoda orang datang kembali. Itu membuatnya senang, sejenak kembali percaya diri. Mereka pergi ke museum galeri. Datang teman dari teman perempuannya, ia mengenal sudah agak lama, banyak orang-orang di antara mereka yang terhubung dan itu bisa jadi bahan obrolan. Ia agak takut sebelum orang lain itu datang, seperti yang sudah-sudah, ia takut tidak bisa merespons obrolan dengan baik, ia takut terlihat takut, ia takut dengan orang lain. Tapi ia lagi-lagi bisa mengendalikan ketakutannya, orang lain itu datang dan mereka mengobrol. Ia berani bertanya dan mendengarkan, antusiasme terdahap orang lain yang selama ini hilang. Ia bisa menikmati perjumpaan. Itu membuatnya senang.

Tapi ternyata lima jam adalah batas kesanggupannya. Ia sudah mulai linglung, jalan menyasar, lupa letak toilet yang sudah ia tahu satu jam lalu dan masuk ke toilet dengan membenturkan kepala ke tembok, tidak sengaja tentu. Ia memutuskan pulang. Sepanjang jalan pulang ia terus ingin menangis, ternyata ia masih belum bisa seperti dulu, ia belum bisa mendapatkan dirinya kembali, bagaimana jika orang lain tadi tidak bisa memakluminya ia yang mulai terlihat linglung dan aneh di obrolan, bagaimana bila ia terlihat sedih dan selalu sedih padahal orang normal tidak boleh melulu terlihat sedih.

Tapi ia sanggup mengendalikan dirinya lagi. Ia menenangkan diri dengan, lima jam adalah perkembangan dan tingkat daya tahan yang baru untuknya. Ia senang, ada peningkatan, tinggal banyak-banyak berlatih. Berlatih bertemu manusia, terutama yang ia kenal dan mengenalnya.

Ia tidur.

Tengah malam saat terbangun, panic attack menyerangnya. Beberapa kali ia mendapatinya, kali ini agak ringan. Ia tidak tengah tidur sendirian dan yang ada di sampingnya adalah orang yang ia percaya, itu membantunya. Pagi hari saat bangun lagi, panic attack masih kembali: ia menangis, bergemetar, ketakutan, sesak, tidak mau bertemu orang, tidak mau berbicara, tidak benar-benar sadar, dan marah. Orang yang ia anggap sudah mati dan ia sedang tidak mau berurusan sama sekali karena ia bertekad ingin bisa sembuh: bisa kembali seperti ia yang dulu, mencintai hidup, bisa mencintai dirinya lagi, memaafkan dirinya, berdamai dengan dirinya, memaafkan semua yang sudah terjadi di belakang sana -- kembali muncul di pikirannya dan membuatnya marah. Marah karena orang itu telah membuat ia jadi seperti ini, kehilangan diri.

Ia marah bercampur takut ternyata alam bawah sadarnya masih ketakutan dengan hadirnya ia yang dulu: senang bertemu orang, terbuka, senang bercerita dan mendengarkan cerita, percaya diri dan mencintai dirinya -- semua hal dari ia yang dulu. Sebab ia menolak sakit seperti dulu.

Ia marah mengapa ia harus berlatih bertemu manusia, berlatih kembali punya mimpi, berlatih mencintai hidupnya. Ia lelah, ia merasa latihan itu hanya sampah dan berguna diperuntukkan bagi orang-orang normal di luar sana, bukan untuknya. Persetan dengan berlatih, persetan dengan kembali ceria dan memiliki mimpi. Ia tidur lagi, lama.

Ia tidur hingga sore hari. Bangunnya, merasa lebih tenang dan waras. Saat panic attack selalu membuatnya jera bertemu orang-orang, tapi setelah lebih tenang, ia tahu ia membaik dan tak ada jalan lain selain terus berusaha membaik.