Dulu sewaktu kecil, saat kakak pertama menikah saya tak
mengerti mengapa bapak dan ibu menangis. Pun ketika kakak-kakak saya
selanjutnya menyusul menikah, bapak ibu tetap menangis, terutama saat moment
pengantin sungkem mohon restu ke orang tua. Mengapa bapak ibu menangis,
bukankah pernikahan adalah moment penuh suka cita? Saya kemudian mengira bahwa
bapak ibu menangis karena haru, karena bahagia akhirnya anaknya menemukan
setengah jiwanya, pasangan hidupnya. Mungkin memang ada beberapa jenis
kebahagiaan yang dirayakan dengan air mata, tampaknya pernikahan salah satunya.
Selama pernikahan itu, dari kakak pertama hingga keempat,
saya tak pernah ikut menangis. Dulunya karena saya tak tahu tangis-tangis itu
untuk apa, maka saya tak ikut menangis. Waktu itu yang saya tahu dari perayaan
pernikahan hanyalah saya bisa banyak makan makanan enak, rumah semarak penuh
hiasaan dan orang-orang yang bertamu, kakak saya mengenakan baju bagus dan
berdandan, anggota keluarga bertambah satu tapi tak lama kemudian saya tak lagi
menemukan kakak di rumah. Setelah agak besar, saya memahami bahwa tangis bapak
ibu dalam pernikahan anaknya adalah tangis bahagia. Dan saya tetap tak ikut
menangis karena saya terbiasa merayakan kebahagiaan dengan tawa, atau
setidaknya senyum malu-malu.
Baru selepas SMA, tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, hasrat
ingin memiliki, tapi ternyata harus berhadapan dengan kenyataan kehilangan yang
kejam, agaknya saya menyadari apa sesungguhnya arti tangis bapak ibu saat-saat
itu. Bahwa sesungguhnya tangis orang tua dalam pernikahan anaknya adalah tangis
kehilangan. Bahwa sesungguhnya sungkem pengantin ke orang tua bukan hanya mohon
restu, tapi juga salam perpisahan. Mungkin begini arti sungkem pengantin kepada
orang tuanya: Selamat jalan, pak, bu, anak yang telah kalian besarkan dengan
kasih dan kesabaran tiada habis siang –malam selama lebih dari dua puluh tahun,
anak yang tak pernah luput dalam doa di sujud-sujud sepertiga malam kalian,
anak yang dulu kencing masih kau antar ke kamar mandi, anak yang dulu makan masih
kau suapi, kini sudah besar. Sudah bisa menanggung hidupnya sendiri, sudah
memiliki dan dimiliki orang lain pak, bu. Restuilah anakmu ini untuk hidup
bersama pasangan pilihanku ini, menjadikannya tujuan hidupku, bekerja siang
malam untuknya, berbagai susah senang padanya. Doakan juga anakmu ini, pak, bu,
semoga tak lupa kepada kalian karena tampaknya sudah menjadi penyakit jamak
seorang anak, lupa bahwa orang tuanya tak pernah sedetik pun lupa kepadanya.
Dan dengan kasih yang tak pernah putus orang tua merestui
pilihan anaknya, merestui kepergian anaknya. Dengan tabah dan besar hati orang
tua memaklumi jika anaknya terkadang alpa kepada dirinya karena sibuk dengan
hidup barunya. Dengan ikhlas dan air mata orang tua menyambut pernikahan
anaknya...
Di setiap moment pernikahan anaknya, ada bagian yang hilang
darinya, yang telah selama belasan, puluhan tahun, terbiasa ia pikirkan
siang-malam, yang telah menjadi semesta hidupnya. Betapa pedihnya menjadi
orang tua.
Kemudian saya membayangkan, agaknya jika kelak menjadi orang
tua kelak saya adalah orang tua yang pencemburu. Yang cemburu melihat anak
lelakinya mulai tumbuh remaja dan mengenal jatuh cinta. Cemburu melihat anak
lelakinya lebih memilih pergi bersama gadis lain daripada mengantarnya chek up
bulanan ke dokter tulang. Lalu saat anaknya semakin tumbuh dewasa, agaknya saya
adalah orang tua yang mudah merasa kehilangan. Merasa kehilangan saat pilihan
ideologi hidup anaknya tak sama lagi dengannya. Merasa kehilangan saat
menyadari perlahan anaknya tak lagi menjadi miliknya, kemudian akan pergi suatu
hari nanti. Ternyata manusia memang tak pernah benar-benar bisa memiliki orang
lain seutuhnya, bahkan seorang ibu terhadap anaknya, yang berasal dari bagian
darah dan dagingnya. Mungkin memang harus berdamai dengan kehilangan
(-kehilangan) adalah kutukan menjadi seorang manusia (dan orang tua.)
Lalu nanti saat kakak kelima saya menikah, saya anak
keenam, mungkin saya akan ikut menangis. Bukan saja karena melihat bapak-ibu
lagi-lagi harus melepas kepergian anaknya, tapi juga karena saya harus melepas
kepergian saudara saya. Setelah kakak menikah pasti saya dan kakak tak bisa seperti
dulu lagi, yang tiap hari beradu mulut siapa yang harus mencuci piring. Nanti
saya sudah tak bisa seperti dulu lagi, menganggu kakak saya yang sedang
telfon-telfonan dengan pacarnya, mengejek kakak saya karena telat puber dan
jatuh cinta.
-
-- Untuk kakak kelima saya yang minggu lalu baru
saja melamar anak gadis orang lain.
what a....... wonderfull life!
BalasHapusFatim. Wahib ya yang udah melamar itu? Ah, dia mah emang dasarnya ingin pembebasan dalam bentuk "yang itu". Entah, apakah memang itu definisi pembebasan yang ia maksud? :-)
BalasHapus