Pertemuan kami tak sering, karena pekerjaan Ahmad dan Surya menyita banyak waktu. Selayaknya pekerjaan-pekerjaan di ibu kota. Seperti lirik sebuah lagu, "Waktu memang jahanam, kota kelewat kejam, dan pekeraan menyita harapan.*" Apalagi, tempat tinggal kami tak lagi berdekatan karena dua pangeran kecil berpindah. Saat masih di satu wilayah kerajaan, sepulang bermain, mereka selalu mengantar hingga gerbang kastil, lalu mereka menuju kastil masing-masing. Sekarang mereka juga masih suka mengantar, kadang memastikan sampai naik kereta, kadang salah satu dari mereka mengantar dengan kudanya. Mereka baik dan menyenangkan.
Setelah perkenalan kami hampir dua tahun lalu, kami bertemu dalam kondisi berbeda-beda. Kadang kami semua sedang bergembira, kadang salah satu dari kami sedang bersedih, kadang ketiga dari kami tidak tahu sedang gembira atau bersedih. Kali ini, Ahmad sedang murung.
Setiba di pasar subuh, mereja menghampiri saya di depan sebuah menara berlonceng raksasa, tempat janji kami bertemu. seperti biasa, kami saling melempar senyum dan bersalaman. Tapi senyum Ahmad tidak sesumringah biasanya. Saat berjumpa, kadang saya suka heran dengan senyum Ahmad yang sangat sumringah, mengingat ia pendiam dan mengaku suka kikuk. Kali ini, setelah melempar senyum, Ahmad lekas-lekas mengalihkan ekor matanya. Saya ingat-ingat, Ahmad suka mengalihkan ekor matanya dari sebuah percakapan atau orang bila ia belum merasa nyaman. Sebab Ahmad merasa dirinya tak mudah berinteraksi dengan orang lain. Karena kami sudah saling mengenal dan tak jarang bermain bersama, ekor mata Ahmad yang lekas berpindah pagi itu menandakan ia sedang murung.
Kami berjalan-jalan mengelilingi pasar dan kue. Setelah membeli kue yang kami suka, kami berbincang-bincang di kedai coklat. Ahmad dan Surya bercerita tentang liburan dan pekerjaannya. Ahmad baru saja keluar dari pekerjaannya. Saya tidak berani bertanya mengapa. Kadang kita tidak bertanya lebih jauh kepada teman karena takut mengganggu, atau takut teman tidak nyaman menceritakan kesedihannya. Padahal bisa jadi teman kita tidak masalah, atau bahkan mungkin ingin ditanya.
Yang saya ingat pekerjaan Ahmad sangat menyita waktu. Pernah, saat sedang cuti untuk pulang ke desa, ia berceloteh masih saja datang burung hantu dari ibu kota yang membawa pesan dari tempatnya bekerja. Burung hantu itu bolak-balik datang dan pergi. Kasihan Ahmad, kasihan burung hantu, mereka pasti ingin istirahat barang beberapa hari. Orang-orang dan burung-burung di ibu kota menghabiskan banyak waktu untuk bekerja. Mungkin orang dewasa memang tidak bisa tidak bekerja.
"Kita kan hanya terjebak di tubuh orang dewasa," kata Ahmad di kedai coklat sambil tertawa-tawa.
Bila kami bertiga mengobrol, kami selalu membicarakan sesuatu, membicarakan banyak hal, dengan tertawa-tawa.
Segera setelah keluar dari pekerjaan, Ahmad pergi berlibur ke Timur. Dari Timur, ia pulang (pergi) lagi ke ibu kota, lalu bertemu bertiga.
"Waktu di Timur, kulitku gosong oleh matahari. Aku beli ramuan pelindung dari terik matahari, tapi aku membelinya setelah kulitku gosong dan beranjak dari Timur. Percuma, absurd. Hahaa."
Ahmad sering merasa ia absurd. Seperti ia merasa ia kikuk. Kadang saya ingin protes, Ahmad teman yang cerdas dan lembut hati. Ahmad teman yang mudah memahami isi kepala orang lain. Mengapa Ahmad menganggap dirinya absurd, saya ingin protes. Tapi rasanya percuma.
Beberapa hari yang lalu, pengawal dari sebuah dinasti di ibu kota menghubunginya, pusat dinasti ingin Ahmad berkerja pada mereka. Ahmad belum merespons, tampaknya ia sedang sangat jemu. Ia ingin mengambil jeda. Ibu kota yang berpadu dengan pekerjaan menyita waktu memang bisa jadi sangat menjemukan. Jemu yang membuat kita seperti kehilangan arah, untuk apa sebenarnya semua ini. Untuk apa sebenarnya kita bekerja. Jika bekerja untuk hidup, mengapa hidup tak layak disebut hidup karena waktu dan mimpi-mimpi lucu malam hari habis dimakan pekerjaan.
Ahmad sedang ingin belajar bahasa Oz. Ia bimbang, akan belajar bahasa Oz di ibu kota, atau pergi meninggalkan ibu kota menuju Tengah atau Barat.
Belajar bahasa Oz memakan waktu seratus hingga seratus dua puluh bulan purnama. Ia ingin, setidaknya beberapa tahun di ibu kota, bila kelak ternyata ia harus pergi dari ibu kota, ada kemajuan yang bisa ia buktikan kepada dirinya sendiri, bisa bahasa Oz salah satunya. Ahmad gemar belajar.
"Ngerasa masih seperti anak kecil, kapan dewasanya"
Beberapa kali Ahmad mengatakannya. Pada pertemuan terakhir sebelum ini, Ahmad mengatakannya dengan tersenyum. Kali ini ia mengatakannya dengan murung. Mungkin Ahmad sedang menuntut banyak hal pada dirinya sendiri.
Kami mengobrol di kedai coklat hingga tengah hari. Mereka mengantar saya naik kereta, lalu pulang ke tempat masing-masing. Kami berjanji akan kembali bertemu bertiga di waktu entah kapan. Mungkin saat itu pangeran kecil sudah tidak murung. Atau mungkin kami bertiga murung semua. Mungkin memang seperti ini hidup orang dewasa.
*Lirik "Lagu Rantau" -- Silampukau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar