Jumat, 17 Juni 2016

The (Un)Sweetness of Doing Nothing

"Setelah berhari-hari di tempat A, tadi pagi-pagi saya memutuskan pulang, tidur. Sampai sore saya tidak bisa menggerakkan tubuh dari tempat tidur, menangis. Saat mencoba terduduk punggung membungkuk seperti tak kuat menahan punggung, saat mencoba berdiri kaki dan kantung air mata bergetar. Lalu saya kembali ke tempat tidur karena putus asa tidak bisa mengendalikan tubuh sendiri.

Kau tahu, ini sudah jelang magrib, seharusnya mandi dan menyiapkan berbuka, tapi kau tidak bisa mengendalikan tubuhmu. Bukankah itu makin membuatmu frustasi? Makin membuatmu membenci mental dan tubuhmu?

Itu mengapa saya benci kesendirian di kamar seperti ini. Saya tidak bisa apa-apa, saya mengerjakan pekerjaan yang bisa saya lakukan sembari tidur. Terjaga, lalu tertidur lagi, terjaga lalu tertidur lagi, begitu terus.

Saya ingin dijemput oleh orang, kehadiran orang lain membuat badan saya mau bergerak. Tapi saya juga tahu, orang-orang normal di luar sana beraktivitas, tidak seperti saya. Maka saya memutuskan kembali tertidur. Hey, saya bisa tidur kan, saya hanya tak bisa bangun. :)"

"Orang-orang di Itali gemar melakukan apa yang mereka sebut sebagai “Dolce far Niente". The sweetness of doing nothing. Kadang tidak melakukan apapun itu sedang melakukan apapun. Kecuali tentu saja bagi mereka yang sedang mengalami trauma, atau dalam kasusku kesepian dan patah hati, tidak melakukan apapun itu neraka.

Kamu dipaksa memikirkan hal-hal yang tidak perlu, membayangkan hal hal yang menyedihkan, dan merasakan sesuatu yang membuat kamu pedih.

Ada sebuah buku, jika kamu mau aku bisa meminjamkkan, Sejenak Hening judulnya. Tentang seseorang yang pernah menyintas dari penyakit berat. Kanker. Ia memberikan dan menceritakan bagaimana supaya kita bisa berdiam diri, bermeditasi dan memikirkan hal hal baik yang membuat tubuh kita merasa lebih segar, dan mempercepat pemulihan kondisi mental yang rapuh. Dulu aku pernah mencoba dan gagal, bukan karena buku itu buruk, tapi karena aku memang tidak pernah percaya hal-hal yang berbau new age. Tapi buku itu menenangkan, setidaknya membuatmu memikirkan hal lain yang tidak mau kamu pikirkan.

Yang paling berat adalah langkah pertama, keluar dari lingkungan yang membuat kita nyaman dan aman. Tapi kamu tahu, tidak ada kesembuhan yang mendadak. Semua butuh proses, dan setiap proses penyembuhan kadang menyakitkan (aku pernah jatuh dengan tangan terkilir dan demi Tuhan ketika diurut aku merasa lebih baik digampar saja pake menjalin).

Kita belajar dari rasa sakit dan bertahan. setelah itu kita baru bisa merinci, apa saja kemampuan yang hilang karena sakit itu.

Untuk berfungsi, kamu mesti hidup dulu, setelahnya pelan-pelan kita cari jalan keluar."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar