"Hola, apa kabar?
Sebenarnya enggan menyapa kamu. Enggan mendahului. Aku dapat kabar dari beberapa orang,"
"Halo, bagaimana menurutmu?"
"Menurutku kamu lekas baik. Bila ada cara yg membuatmu kembali membaik, aku tentu senang"
"Aku sedang menempuhnya. Minggu depan janji bertemu dengan lembaga layanan konseling."
"Menyibukkan diri juga bagus. Kerja-kerja untuk tujuan orang banyak."
" Saya beraktivitas; wawancara- dan mendengarkan cerita orang untuk ditulis, barangkali itu memang membantu saya untuk tidak tambah parah, tapi sejauh ini, sampai kemarin saya ada di titik ingin menyerah untuk sembuh. Karena saya berusaha tetap melaksanakan tugas-tugas, pekerjaan, aktivitas, semata agar saya masih fungsional. Tepat itu alasan saya kenapa masih hidup, agar saya masih berfungsi saja. Tapi kematian itu tidak juga menyingkir, Ia terus ada. Tapi saya juga tak kunjung bisa sembuh untuk bisa berinteraksi dalam lingkaran besar tanpa rasa frustasi, takut, lelah, tidak ingin terlibat percakapan. Dan saya juga masih belum kunjung mengerti apa yang dia lakukan pada saya mengapa bisa sampai seperti ini, sampai selama ini.
Saya kehilangan kemampuan tersentuh atas perasaan orang lain, saya kehilangan kemampuan untuk menghargai perasaan diri sendiri. Pragmatis saja, jalankan fungsi saja sebagai manusia. Maka pertemuan dengan orang-orang, mendengarkan mereka, yang biasanya dan seharusnya membuat saya tersentuh dan memperkaya batin, tidak bekerja. Saya terus bekerja, saya terus beraktivitas, tapi saya tetap terus ingin mati."
Kalimat-kalimat itu menyembur, rasa frustasi yang selama ini Ia simpan: mengapa Ia sudah tetap terus berusaha melanjutkan hidup, beraktivitas dan bekerja seperti manusia normal, itu tetap tak membantunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar