Minggu, 27 Oktober 2013

Di Sisa Waktu

Bila waktu untuk kita tidak tersisa banyak, apa yang ingin kau lakukan?
Kalau aku, aku ingin sering-sering mendengarkan musik yang menyenangkan bersamamu agar ada musik yang mengingatkanku pada kita, aku ingin memeluk punggungmu lama-lama, bercerita tentang banyak hal; masa kecil, ayah, ibu, orang-orang yang pernah hadir dalam hidup kita, atau obrolan tidak penting soal mengapa kamu suka sekali main game (tidak penting bukan? :p)
Aku ingin melakukan hal-hal yang selama ini jarang kita lakukan, entah mengapa (padahal aku sangat ingin melakukannya denganmu) -- jalan-jalan ke taman, lalu membaca buku di sana, atau mengobrol juga boleh, pergi ke air terjun, hutan atau gunung. Katanya ada air terjun dan hutan bagus di kota sebelah, tak perlu jauh-jauh. Seru bukan kedengarannya?
Aku ingin berkeliling kota ke tempat-tempat yang bukan kafe ataupun mall, seperti kota lama, pelabuhan, kawasan toko-toko tua.
Aku juga ingin sering-sering menonton film denganmu. Katamu Game of thrones yang baru pertengahan tahun ini tayang ya? Tapi aku ingin menonton film di bioskop. Haha, aku memang banyak mau.
Oh iya, masih ada lagi, aku ingin pergi ke gig-gig musik indie, dan acara-acara seni yang banyak dan kerapkali gratis di kota ini. Kota ini memang cukup menyenangkan untuk dijelajahi ya?
Dan yang terpenting, aku ingin melihat kamu bahagia, melihat kita bahagia di sisa waktu yang kita punya. I love you.

Selasa, 30 April 2013

Air Mata dan Pernikahan



Dulu sewaktu kecil, saat kakak pertama menikah saya tak mengerti mengapa bapak dan ibu menangis. Pun ketika kakak-kakak saya selanjutnya menyusul menikah, bapak ibu tetap menangis, terutama saat moment pengantin sungkem mohon restu ke orang tua. Mengapa bapak ibu menangis, bukankah pernikahan adalah moment penuh suka cita? Saya kemudian mengira bahwa bapak ibu menangis karena haru, karena bahagia akhirnya anaknya menemukan setengah jiwanya, pasangan hidupnya. Mungkin memang ada beberapa jenis kebahagiaan yang dirayakan dengan air mata, tampaknya pernikahan salah satunya.

Selama pernikahan itu, dari kakak pertama hingga keempat, saya tak pernah ikut menangis. Dulunya karena saya tak tahu tangis-tangis itu untuk apa, maka saya tak ikut menangis. Waktu itu yang saya tahu dari perayaan pernikahan hanyalah saya bisa banyak makan makanan enak, rumah semarak penuh hiasaan dan orang-orang yang bertamu, kakak saya mengenakan baju bagus dan berdandan, anggota keluarga bertambah satu tapi tak lama kemudian saya tak lagi menemukan kakak di rumah. Setelah agak besar, saya memahami bahwa tangis bapak ibu dalam pernikahan anaknya adalah tangis bahagia. Dan saya tetap tak ikut menangis karena saya terbiasa merayakan kebahagiaan dengan tawa, atau setidaknya senyum malu-malu.

Baru selepas SMA, tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, hasrat ingin memiliki, tapi ternyata harus berhadapan dengan kenyataan kehilangan yang kejam, agaknya saya menyadari apa sesungguhnya arti tangis bapak ibu saat-saat itu. Bahwa sesungguhnya tangis orang tua dalam pernikahan anaknya adalah tangis kehilangan. Bahwa sesungguhnya sungkem pengantin ke orang tua bukan hanya mohon restu, tapi juga salam perpisahan. Mungkin begini arti sungkem pengantin kepada orang tuanya: Selamat jalan, pak, bu, anak yang telah kalian besarkan dengan kasih dan kesabaran tiada habis siang –malam selama lebih dari dua puluh tahun, anak yang tak pernah luput dalam doa di sujud-sujud sepertiga malam kalian, anak yang dulu kencing masih kau antar ke kamar mandi, anak yang dulu makan masih kau suapi, kini sudah besar. Sudah bisa menanggung hidupnya sendiri, sudah memiliki dan dimiliki orang lain pak, bu. Restuilah anakmu ini untuk hidup bersama pasangan pilihanku ini, menjadikannya tujuan hidupku, bekerja siang malam untuknya, berbagai susah senang padanya. Doakan juga anakmu ini, pak, bu, semoga tak lupa kepada kalian karena tampaknya sudah menjadi penyakit jamak seorang anak, lupa bahwa orang tuanya tak pernah sedetik pun lupa kepadanya.

Dan dengan kasih yang tak pernah putus orang tua merestui pilihan anaknya, merestui kepergian anaknya. Dengan tabah dan besar hati orang tua memaklumi jika anaknya terkadang alpa kepada dirinya karena sibuk dengan hidup barunya. Dengan ikhlas dan air mata orang tua menyambut pernikahan anaknya...

Di setiap moment pernikahan anaknya, ada bagian yang hilang darinya, yang telah selama belasan, puluhan tahun, terbiasa ia pikirkan siang-malam, yang telah menjadi semesta hidupnya. Betapa pedihnya menjadi orang tua.

Kemudian saya membayangkan, agaknya jika kelak menjadi orang tua kelak saya adalah orang tua yang pencemburu. Yang cemburu melihat anak lelakinya mulai tumbuh remaja dan mengenal jatuh cinta. Cemburu melihat anak lelakinya lebih memilih pergi bersama gadis lain daripada mengantarnya chek up bulanan ke dokter tulang. Lalu saat anaknya semakin tumbuh dewasa, agaknya saya adalah orang tua yang mudah merasa kehilangan. Merasa kehilangan saat pilihan ideologi hidup anaknya tak sama lagi dengannya. Merasa kehilangan saat menyadari perlahan anaknya tak lagi menjadi miliknya, kemudian akan pergi suatu hari nanti. Ternyata manusia memang tak pernah benar-benar bisa memiliki orang lain seutuhnya, bahkan seorang ibu terhadap anaknya, yang berasal dari bagian darah dan dagingnya. Mungkin memang harus berdamai dengan kehilangan (-kehilangan) adalah kutukan menjadi seorang manusia (dan orang tua.)

Lalu nanti saat kakak kelima saya menikah, saya anak keenam, mungkin saya akan ikut menangis. Bukan saja karena melihat bapak-ibu lagi-lagi harus melepas kepergian anaknya, tapi juga karena saya harus melepas kepergian saudara saya. Setelah kakak menikah pasti saya dan kakak tak bisa seperti dulu lagi, yang tiap hari beradu mulut siapa yang harus mencuci piring. Nanti saya sudah tak bisa seperti dulu lagi, menganggu kakak saya yang sedang telfon-telfonan dengan pacarnya, mengejek kakak saya karena telat puber dan jatuh cinta.

-          -- Untuk kakak kelima saya yang minggu lalu baru saja melamar anak gadis orang lain.