Senin, 21 September 2015

Sedih #2

Barangkali beberapa kehilangan adalah kesunyian masing-masing. Biasanya ia tidak suka membicarakan ini. Tiap kali rindu pada ayahnya datang, ia pulang ke sarang. Supaya tangisnya tidak terlihat oleh burung-burung lain. Karena hutan dan burung-burung akan ikut murung melihat tangis kehilangan sebesar itu.

Kadang ia berhasil menemukan alasan kenapa rindu Ayah, tapi sering juga tidak. Bila sedang rindu Ayah, ia tidak bisa menahan tangis. Tangis tersedu-sedu. Tangis yang tidak habis-habis. Tangis yang baginya tidak masuk akal. Karenanya, ia berusaha menemukan alasan kenapa rindu Ayah.

Bila sedang rindu Ayah, ia ingin kembali jadi burung kecil yang dinasihati Ayahnya. Ia ingin memutar waktu ke masa di mana beban hidup hanyalah masalah tempat bermain mana di hutan yang dibolehkan ayah ibunya dan mana yang tidak.

Sebenarnya ia tidak terlalu dekat dengan Ayah. Dulu ia tidak pernah terpikir akan kehilangan sebesar ini bila Ayah tiada. Karenanya kehilangan dan rindu Ayah yang menyiksa seperti ini baginya tidak masuk akal. Ia berusaha menemukan alasan kenapa ia rindu Ayah.

Semasa hidup Ayah adalah kepala ordo burung-burung di hutan. Ia mengabdikan hidupnya untuk kepentingan ordo. Bagi Ayah, mengabdi untuk ordo adalah mengabdi untuk jalan Tuhan. Ayah tidak sering mengobrol dengan anak-anak. Dengan ia dan saudara-saudaranya. Bila sedang tidak keliling melayani ordo, di sarang Ayah tak banyak bicara. Namun, Ayah galak perkara waktu dan belajar anak-anak. Ayah telaten, ia mengingatnya sebagai galak, mengajari anaknya terbang, mencari makan, berlindung dari musuh, dan mengingatkan anak-anaknya untuk teguh pada kebaikan.

Ia jarang kena marah Ayah, karena ia cakap belajar sendiri. Mungkin juga karena ia burung betina paling kecil. Bila petang tiba, anak-anak sudah harus di sarang. Karena malam hari banyak bahaya dan hantu-hantu mengintai di hutan. Malam adalah waktunya untuk beristirahat dan mengingat Tuhan. Kakaknya, burung jantan yang sering main menjelajah hutan hingga menjelang gelap sering dimarahi Ayah. Bila Ayah marah, semuanya diam, tidak ada yang berani melawan. Bila marah Ayah berlarut, biasanya Ibu berusaha meredakan Ayah.

Dari Paman Elang, yang ia temui setelah Ayah meninggal, ia jadi tahu kenapa Ayah berjarak dengan anak-anak.Suatu kali Ayah pernah bercerita pada Paman Elang, "Saya sengaja tidak terlalu dekat dengan anak-anak. Takut kecintaan yang terlalu pada anak-anak menghalangi tugas untuk mengabdi."

Sekarang ia dan saudara-saudaranya sudah besar. Hidup jadi burung dewasa tidak mudah. Harus mandiri, tak hanya dalam melindungi diri tapi juga dalam bersikap. Bila burung lain sedang menyebalkan, atau hutan sedang kisruh, ia membayangkan apa yang akan Ayah nasihatkan padanya. Bagaimana seharusnya bersikap pada burung yang menyebalkan, bagaimana seharusnya menyikapi kekacauan masyarakat hutan, yang tentu tidak sekadar hitam putih.

Setelah mengalami hal-hal buruk menjadi burung dewasa, ia menyadari betapa keras kepalanya Ayah. Semasa hidup, ada saja anggota ordo yang berbuat jahat pada Ayah. Tapi Ayah diam, Ayah tidak pernah membalas. Bukan karena tidak mampu membalas, setelah dewasa ia paham itu. Ia sendiri di waktu-waktu itu masih kecil, belum mampu membalas anggota ordo yang berbuat jahat pada keluarganya, pada ayah ibunya. Selain itu, ia juga belum memahami apa-apa yang terjadi. Kalaupun waktu-waktu itu ia sudah bisa membalas, pasti Ayah akan melarang. Ayah sering bilang, "Kita ini burung yang mengabdi untuk Tuhan, harus bisa bersikap."

Kekeraskepalaan Ayah dalam bersikap dan menanamkan nilai pada anak-anaknya, yang sering ia rindukan setelah hidup menjadi burung dewasa di hutan belantara. Ia juga sering rindu Ayah bila melihat kakaknya yang sudah besar dan punya anak tidak menjadi Ayah yang baik, yang tidak teguh dan peduli dalam mengajarkan nilai pada anak-anaknya. Ia berharap Ayah masih hidup dan memarahi kakaknya.

Ia juga sering bersikap buruk. Tidak menahan diri dari membalas berbuat jahat pada burung-burung yang menyebalkan. Ia berharap Ayah masih hidup dan menasihatinya bagaimana sebaiknya hidup yang tak hitam putih dijalani. Ia kini menyadari, meski selama hidup secara fisik Ayah tidak dekat, Ayah membuat nilai-nilainya tak hanya dekat, tapi menjaga dan senantiasa mengembalikan, bahkan saat Ayah sudah tidak ada. Ia rindu Ayah. Ia sering rindu Ayah, dengan atau tanpa alasan.



"It has been long day without you, I'll tell you all about it when I see you again. See you again."