Selasa, 21 Juni 2016

Yang Hilang

"Hola, apa kabar?
Sebenarnya enggan menyapa kamu. Enggan mendahului. Aku dapat kabar dari beberapa orang,"

"Halo, bagaimana menurutmu?"

"Menurutku kamu lekas baik. Bila ada cara yg membuatmu kembali membaik, aku tentu senang"

"Aku sedang menempuhnya. Minggu depan janji bertemu dengan lembaga layanan konseling." 

"Menyibukkan diri juga bagus. Kerja-kerja untuk tujuan orang banyak."

" Saya beraktivitas; wawancara- dan mendengarkan cerita orang untuk ditulis, barangkali itu memang membantu saya untuk tidak tambah parah, tapi sejauh ini, sampai kemarin saya ada di titik ingin menyerah untuk sembuh. Karena saya berusaha tetap melaksanakan tugas-tugas, pekerjaan, aktivitas, semata agar saya masih fungsional. Tepat itu alasan saya kenapa masih hidup, agar saya masih berfungsi saja. Tapi kematian itu tidak juga menyingkir, Ia terus ada. Tapi saya juga tak kunjung bisa sembuh untuk bisa berinteraksi dalam lingkaran besar tanpa rasa frustasi, takut, lelah, tidak ingin terlibat percakapan. Dan saya juga masih belum kunjung mengerti apa yang dia lakukan pada saya mengapa bisa sampai seperti ini, sampai selama ini.

Saya kehilangan kemampuan tersentuh atas perasaan orang lain, saya kehilangan kemampuan untuk menghargai perasaan diri sendiri. Pragmatis saja, jalankan fungsi saja sebagai manusia. Maka pertemuan dengan orang-orang, mendengarkan mereka, yang biasanya dan seharusnya membuat saya tersentuh dan memperkaya batin, tidak bekerja. Saya terus bekerja, saya terus beraktivitas, tapi saya tetap terus ingin mati."

Kalimat-kalimat itu menyembur, rasa frustasi yang selama ini Ia simpan: mengapa Ia sudah tetap terus berusaha melanjutkan hidup, beraktivitas dan bekerja seperti manusia normal, itu tetap tak membantunya.

Jumat, 17 Juni 2016

The (Un)Sweetness of Doing Nothing

"Setelah berhari-hari di tempat A, tadi pagi-pagi saya memutuskan pulang, tidur. Sampai sore saya tidak bisa menggerakkan tubuh dari tempat tidur, menangis. Saat mencoba terduduk punggung membungkuk seperti tak kuat menahan punggung, saat mencoba berdiri kaki dan kantung air mata bergetar. Lalu saya kembali ke tempat tidur karena putus asa tidak bisa mengendalikan tubuh sendiri.

Kau tahu, ini sudah jelang magrib, seharusnya mandi dan menyiapkan berbuka, tapi kau tidak bisa mengendalikan tubuhmu. Bukankah itu makin membuatmu frustasi? Makin membuatmu membenci mental dan tubuhmu?

Itu mengapa saya benci kesendirian di kamar seperti ini. Saya tidak bisa apa-apa, saya mengerjakan pekerjaan yang bisa saya lakukan sembari tidur. Terjaga, lalu tertidur lagi, terjaga lalu tertidur lagi, begitu terus.

Saya ingin dijemput oleh orang, kehadiran orang lain membuat badan saya mau bergerak. Tapi saya juga tahu, orang-orang normal di luar sana beraktivitas, tidak seperti saya. Maka saya memutuskan kembali tertidur. Hey, saya bisa tidur kan, saya hanya tak bisa bangun. :)"

"Orang-orang di Itali gemar melakukan apa yang mereka sebut sebagai “Dolce far Niente". The sweetness of doing nothing. Kadang tidak melakukan apapun itu sedang melakukan apapun. Kecuali tentu saja bagi mereka yang sedang mengalami trauma, atau dalam kasusku kesepian dan patah hati, tidak melakukan apapun itu neraka.

Kamu dipaksa memikirkan hal-hal yang tidak perlu, membayangkan hal hal yang menyedihkan, dan merasakan sesuatu yang membuat kamu pedih.

Ada sebuah buku, jika kamu mau aku bisa meminjamkkan, Sejenak Hening judulnya. Tentang seseorang yang pernah menyintas dari penyakit berat. Kanker. Ia memberikan dan menceritakan bagaimana supaya kita bisa berdiam diri, bermeditasi dan memikirkan hal hal baik yang membuat tubuh kita merasa lebih segar, dan mempercepat pemulihan kondisi mental yang rapuh. Dulu aku pernah mencoba dan gagal, bukan karena buku itu buruk, tapi karena aku memang tidak pernah percaya hal-hal yang berbau new age. Tapi buku itu menenangkan, setidaknya membuatmu memikirkan hal lain yang tidak mau kamu pikirkan.

Yang paling berat adalah langkah pertama, keluar dari lingkungan yang membuat kita nyaman dan aman. Tapi kamu tahu, tidak ada kesembuhan yang mendadak. Semua butuh proses, dan setiap proses penyembuhan kadang menyakitkan (aku pernah jatuh dengan tangan terkilir dan demi Tuhan ketika diurut aku merasa lebih baik digampar saja pake menjalin).

Kita belajar dari rasa sakit dan bertahan. setelah itu kita baru bisa merinci, apa saja kemampuan yang hilang karena sakit itu.

Untuk berfungsi, kamu mesti hidup dulu, setelahnya pelan-pelan kita cari jalan keluar."

Kamis, 16 Juni 2016

Saya Ingin Sembuh

Malam itu, sepulang dari ajakan bicara, ia mendatanginya dengan separuh rasa percaya dan separuh rasa curiga yang ia rasa harus disimpan untuk siapapun, ia mengirim pesan,

"Saya ingin sembuh. Kamu tadi bertanya apakah saya bisa tidur atau tidak, saya jawab 'Bisa, kondisi saya memang tidak baik, tapi tidak seburuk itu.' Sebenarnya saya berbohong. Saya membohongi diri bahwa kondisi saya cukup baik. Bagaimana lagi?

Saya sebenarnya sulit tidur, lebih tepatnya saya tidak bisa tidur sendiri. Maka saya selalu berlari, saya kadang berhari-hari di rumah A, saya kadang tidur di tempat B, semata supaya tidak harus tidur sendirian. Saat saya sendirian, saya tidak bisa berfungsi, saya tidak bisa mengetik apapun, saya tidak bisa membereskan kamar, saya bingung, saya takut setengah mati membayangkan kalau saya harus bingung sendirian, karena olehnya saya tidak bisa mengerjakan apa-apa.

Maka saya terus-terusan berlari dari sendiri. Saya harus sembuh sampai ke tahap fungsi normal di mana saya tidak kebingungan kalau harus tidur sendirian. Saya ingin sembuh sampai di fungsi normal di mana saya tidak lelah, takut, bingung, tidak tertarik, harus terlalu memaksa diri, untuk berinteraksi dengan orang apalagi orang banyak.

Saya ingin sembuh sampai di tahap di mana saya merasa hidup ini memang layak untuk dihidupi. Sampai di tahap di mana saya tidak terus bertanya-tanya untuk apa saya terus hidup selain supaya tidak membuat Ibu saya terluka setengah mati kalau saya nekat bunuh diri. Tapi saya lelah bertahan hidup hanya demi orang lain. Saya ingin kembali hidup di mana saya sendiri yg ingin benar-benar hidup.

Kamu mau membantu saya? Menjadi caregiver saya?"

"Tentu."

Ia tahu, orang-orang ingin memukul orang itu untuknya, barangkali membunuh. Tapi ia juga tahu, ia hanya ingin sembuh, the rest is irrelevant, setidaknya untuk sekarang.

Pesan itu ia kirimkan dari Bumi kepada Bulan.