Senin, 20 Juli 2015

Sedih #1

Ia sedih, belum pernah sesedih ini. Bukan ia jarang bersedih, meski bersedih biasanya ia masih mampu bertemu orang-orang. Tertawa bersama mereka, bersikap seolah-olah ia tak sedang bersedih. Hampir selalu berhasil. Tapi kali ini kesedihannya tak sanggup membuatknya berpura-pura. Ia tak mau menemui orang-orang.

Ia berkendara, pergi ke Selatan jauh. Menyetel lagu-lagu sedih kesukaannya. Melakukan perjalanan biasanya bisa mengobati rasa sedihnya. Jalanan lenggang, mungkin jalanan tahu ia sedang sedih. Jalanan tak enak hati bila membuatnya tambah bersedih dengan kemacetan yang kerap membuat orang marah. Orang yang mudah marah mudah bersedih. Atau jalanan ingin ia menikmati kesedihannya dengan syahdu, lagu-lagu sedih bisa didengarkan dengan khusyuk karena tak banyak bising klakson di jalanan. Bising klakson membuat orang mudah marah. Jalanan lenggang.

Sampai di Selatan jauh, ia mengurung diri. Di tempat asal ia juga dapat mengurung diri, tapi ia merasa harus berkendara jauh untuk mengobati rasa sedihnya, maka ia mengurung diri di Selatan jauh. Lagu-lagu sedih kesukaannya masih diputar. Lalu seseorang datang menemuinya. Ia sedang ingin sendiri, tapi tak terlalu masalah, di hadapan orang itu ia tak harus berpura-pura sedang tidak bersedih. Dengan wajah sedih, ia bertanya pada orang itu, "Bagaimana caranya supaya tetap jadi orang baik? Bagaimana.. bagaimana.." Orang itu tak punya banyak jawaban atas pertanyannya yang banyak. Alih-alih, orang itu menceritainya kisah seorang ibu.

Orang itu pergi, ia masih bersedih. Ia lalu tidur, berhari-hari, ia tak makan. Rasa sedihnya sanggup mengalahkan rasa lapar. Berhari-hari kemudian, saat rasa lapar yang sangat mengalahkan rasa sedihnya, ia berkendara lagi, mencari makan. Ia menemukan sebuah gubuk sederhana, makanannya enak sekali. Mengingatkannya pada kisah seorang ibu. Ia jadi gembira. Lalu ia berkendara, ke tempat asal. Berkemas-kemas, berkendara lagi, menemui orang-orang. ***