Selasa, 29 Desember 2015

Patah Hati Pada Dunia

Tidak ada yang lebih kuinginkan akhir-akhir ini, selain menghilang dari segala keriuhan. Menjadi petapa di Tibet. Atau kejauhan yang lain. Tidak ada yang lebih kuinginkan akhir-akhir ini, selain memutus bercakap-cakap semu dengan orang-orang. Hidup di kejauhan tanpa teknologi modern untuk berkomunikasi, menyepi dari orang-orang urban yang ribut.

Minggu, 01 November 2015

Lima

Ada hari buruk, ada hari baik. Tak jarang engkau begitu menyebalkan -- pemarah, tidak sabaran, meributkan hal-hal sepele yang membuatku terheran-heran: apa sebenarnya yang membuatmu marah? Kadang juga engkau begitu manis, seperti hari ini. Lembut, sabar, dan tampak penyayang.
Tentu aku berharap seperti kebanyakan manusia normal, engkau lebih sering manis dan jarang-jarang saja menyebalkannya. Tapi kupikir-pikir aku sudah jatuh cinta. Sehingga kamu yang sedang menyebalkan bisa saja terlihat manis, meski jika perasaanku sedang buruk ingin rasanya aku membanting pintu menghadapi kamu yang sulit (sudah sering kulakukan ya? haha).
Omong-omong, selamat mengulang lima.

Jumat, 16 Oktober 2015

Pangeran Kecil Sedang Murung

Kami kembali bertemu bertiga, setelah perjumpaan terakhir beberapa bulan lalu. Ahmad, Surya dan saya. Di pasar subuh yang menjual banyak kue. Saya senang bermain dengan mereka, terasa seperti putri yang bermain dengan dua teman pangeran kecilnya. Dua pangeran kecil yang baik hati dan menyenangkan.

Pertemuan kami tak sering, karena pekerjaan Ahmad dan Surya menyita banyak waktu. Selayaknya pekerjaan-pekerjaan di ibu kota. Seperti lirik sebuah lagu, "Waktu memang jahanam, kota kelewat kejam, dan pekeraan menyita harapan.*" Apalagi, tempat tinggal kami tak lagi berdekatan karena dua pangeran kecil berpindah. Saat masih di satu wilayah kerajaan, sepulang bermain, mereka selalu mengantar hingga gerbang kastil, lalu mereka menuju kastil masing-masing. Sekarang mereka juga masih suka mengantar, kadang memastikan sampai naik kereta, kadang salah satu dari mereka mengantar dengan kudanya. Mereka baik dan menyenangkan.

Setelah perkenalan kami hampir dua tahun lalu, kami bertemu dalam kondisi berbeda-beda. Kadang kami semua sedang bergembira, kadang salah satu dari kami sedang bersedih, kadang ketiga dari kami tidak tahu sedang gembira atau bersedih. Kali ini, Ahmad sedang murung.

Setiba di pasar subuh, mereja menghampiri saya di depan sebuah menara berlonceng raksasa, tempat janji kami bertemu. seperti biasa, kami saling melempar senyum dan bersalaman. Tapi senyum Ahmad tidak sesumringah biasanya. Saat berjumpa, kadang saya suka heran dengan senyum Ahmad yang sangat sumringah, mengingat ia pendiam dan mengaku suka kikuk. Kali ini, setelah melempar senyum, Ahmad lekas-lekas mengalihkan ekor matanya. Saya ingat-ingat, Ahmad suka mengalihkan ekor matanya dari sebuah percakapan atau orang bila ia belum merasa nyaman. Sebab Ahmad merasa dirinya tak mudah berinteraksi dengan orang lain. Karena kami sudah saling mengenal dan tak jarang bermain bersama, ekor mata Ahmad yang lekas berpindah pagi itu menandakan ia sedang murung.

Kami berjalan-jalan mengelilingi pasar dan kue. Setelah membeli kue yang kami suka, kami berbincang-bincang di kedai coklat. Ahmad dan Surya bercerita tentang liburan dan pekerjaannya. Ahmad baru saja keluar dari pekerjaannya. Saya tidak berani bertanya mengapa. Kadang kita tidak bertanya lebih jauh kepada teman karena takut mengganggu, atau takut teman tidak nyaman menceritakan kesedihannya. Padahal bisa jadi teman kita tidak masalah, atau bahkan mungkin ingin ditanya.

Yang saya ingat pekerjaan Ahmad sangat menyita waktu. Pernah, saat sedang cuti untuk pulang ke desa, ia berceloteh masih saja datang burung hantu dari ibu kota yang membawa pesan dari tempatnya bekerja. Burung hantu itu bolak-balik datang dan pergi. Kasihan Ahmad, kasihan burung hantu, mereka pasti ingin istirahat barang beberapa hari. Orang-orang dan burung-burung di ibu kota menghabiskan banyak waktu untuk bekerja. Mungkin orang dewasa memang tidak bisa tidak bekerja.

"Kita kan hanya terjebak di tubuh orang dewasa," kata Ahmad di kedai coklat sambil tertawa-tawa.

Bila kami bertiga mengobrol, kami selalu membicarakan sesuatu, membicarakan banyak hal, dengan tertawa-tawa.

Segera setelah keluar dari pekerjaan, Ahmad pergi berlibur ke Timur. Dari Timur, ia pulang (pergi) lagi ke ibu kota, lalu bertemu bertiga.

"Waktu di Timur, kulitku gosong oleh matahari. Aku beli ramuan pelindung dari terik matahari, tapi aku membelinya setelah kulitku gosong dan beranjak dari Timur. Percuma, absurd. Hahaa."

Ahmad sering merasa ia absurd. Seperti ia merasa ia kikuk. Kadang saya ingin protes, Ahmad teman yang cerdas dan lembut hati. Ahmad teman yang mudah memahami isi kepala orang lain. Mengapa Ahmad menganggap dirinya absurd, saya ingin protes. Tapi rasanya percuma.

Beberapa hari yang lalu, pengawal dari sebuah dinasti di ibu kota menghubunginya, pusat dinasti ingin Ahmad berkerja pada mereka. Ahmad belum merespons, tampaknya ia sedang sangat jemu. Ia ingin mengambil jeda. Ibu kota yang berpadu dengan pekerjaan menyita waktu memang bisa jadi sangat menjemukan. Jemu yang membuat kita seperti kehilangan arah, untuk apa sebenarnya semua ini. Untuk apa sebenarnya kita bekerja. Jika bekerja untuk hidup, mengapa hidup tak layak disebut hidup karena waktu dan mimpi-mimpi lucu malam hari habis dimakan pekerjaan.

Ahmad sedang ingin belajar bahasa Oz. Ia bimbang, akan belajar bahasa Oz di ibu kota, atau pergi meninggalkan ibu kota menuju Tengah atau Barat.

Belajar bahasa Oz memakan waktu seratus hingga seratus dua puluh bulan purnama. Ia ingin, setidaknya beberapa tahun di ibu kota, bila kelak ternyata ia harus pergi dari ibu kota, ada kemajuan yang bisa ia buktikan kepada dirinya sendiri, bisa bahasa Oz salah satunya. Ahmad gemar belajar.

"Ngerasa masih seperti anak kecil, kapan dewasanya"

Beberapa kali Ahmad mengatakannya. Pada pertemuan terakhir sebelum ini, Ahmad mengatakannya dengan tersenyum. Kali ini ia mengatakannya dengan murung. Mungkin Ahmad sedang menuntut banyak hal pada dirinya sendiri.

Kami mengobrol di kedai coklat hingga tengah hari. Mereka mengantar saya naik kereta, lalu pulang ke tempat masing-masing. Kami berjanji akan kembali bertemu bertiga di waktu entah kapan. Mungkin saat itu pangeran kecil sudah tidak murung. Atau mungkin kami bertiga murung semua. Mungkin memang seperti ini hidup orang dewasa.


*Lirik "Lagu Rantau" -- Silampukau




Senin, 21 September 2015

Sedih #2

Barangkali beberapa kehilangan adalah kesunyian masing-masing. Biasanya ia tidak suka membicarakan ini. Tiap kali rindu pada ayahnya datang, ia pulang ke sarang. Supaya tangisnya tidak terlihat oleh burung-burung lain. Karena hutan dan burung-burung akan ikut murung melihat tangis kehilangan sebesar itu.

Kadang ia berhasil menemukan alasan kenapa rindu Ayah, tapi sering juga tidak. Bila sedang rindu Ayah, ia tidak bisa menahan tangis. Tangis tersedu-sedu. Tangis yang tidak habis-habis. Tangis yang baginya tidak masuk akal. Karenanya, ia berusaha menemukan alasan kenapa rindu Ayah.

Bila sedang rindu Ayah, ia ingin kembali jadi burung kecil yang dinasihati Ayahnya. Ia ingin memutar waktu ke masa di mana beban hidup hanyalah masalah tempat bermain mana di hutan yang dibolehkan ayah ibunya dan mana yang tidak.

Sebenarnya ia tidak terlalu dekat dengan Ayah. Dulu ia tidak pernah terpikir akan kehilangan sebesar ini bila Ayah tiada. Karenanya kehilangan dan rindu Ayah yang menyiksa seperti ini baginya tidak masuk akal. Ia berusaha menemukan alasan kenapa ia rindu Ayah.

Semasa hidup Ayah adalah kepala ordo burung-burung di hutan. Ia mengabdikan hidupnya untuk kepentingan ordo. Bagi Ayah, mengabdi untuk ordo adalah mengabdi untuk jalan Tuhan. Ayah tidak sering mengobrol dengan anak-anak. Dengan ia dan saudara-saudaranya. Bila sedang tidak keliling melayani ordo, di sarang Ayah tak banyak bicara. Namun, Ayah galak perkara waktu dan belajar anak-anak. Ayah telaten, ia mengingatnya sebagai galak, mengajari anaknya terbang, mencari makan, berlindung dari musuh, dan mengingatkan anak-anaknya untuk teguh pada kebaikan.

Ia jarang kena marah Ayah, karena ia cakap belajar sendiri. Mungkin juga karena ia burung betina paling kecil. Bila petang tiba, anak-anak sudah harus di sarang. Karena malam hari banyak bahaya dan hantu-hantu mengintai di hutan. Malam adalah waktunya untuk beristirahat dan mengingat Tuhan. Kakaknya, burung jantan yang sering main menjelajah hutan hingga menjelang gelap sering dimarahi Ayah. Bila Ayah marah, semuanya diam, tidak ada yang berani melawan. Bila marah Ayah berlarut, biasanya Ibu berusaha meredakan Ayah.

Dari Paman Elang, yang ia temui setelah Ayah meninggal, ia jadi tahu kenapa Ayah berjarak dengan anak-anak.Suatu kali Ayah pernah bercerita pada Paman Elang, "Saya sengaja tidak terlalu dekat dengan anak-anak. Takut kecintaan yang terlalu pada anak-anak menghalangi tugas untuk mengabdi."

Sekarang ia dan saudara-saudaranya sudah besar. Hidup jadi burung dewasa tidak mudah. Harus mandiri, tak hanya dalam melindungi diri tapi juga dalam bersikap. Bila burung lain sedang menyebalkan, atau hutan sedang kisruh, ia membayangkan apa yang akan Ayah nasihatkan padanya. Bagaimana seharusnya bersikap pada burung yang menyebalkan, bagaimana seharusnya menyikapi kekacauan masyarakat hutan, yang tentu tidak sekadar hitam putih.

Setelah mengalami hal-hal buruk menjadi burung dewasa, ia menyadari betapa keras kepalanya Ayah. Semasa hidup, ada saja anggota ordo yang berbuat jahat pada Ayah. Tapi Ayah diam, Ayah tidak pernah membalas. Bukan karena tidak mampu membalas, setelah dewasa ia paham itu. Ia sendiri di waktu-waktu itu masih kecil, belum mampu membalas anggota ordo yang berbuat jahat pada keluarganya, pada ayah ibunya. Selain itu, ia juga belum memahami apa-apa yang terjadi. Kalaupun waktu-waktu itu ia sudah bisa membalas, pasti Ayah akan melarang. Ayah sering bilang, "Kita ini burung yang mengabdi untuk Tuhan, harus bisa bersikap."

Kekeraskepalaan Ayah dalam bersikap dan menanamkan nilai pada anak-anaknya, yang sering ia rindukan setelah hidup menjadi burung dewasa di hutan belantara. Ia juga sering rindu Ayah bila melihat kakaknya yang sudah besar dan punya anak tidak menjadi Ayah yang baik, yang tidak teguh dan peduli dalam mengajarkan nilai pada anak-anaknya. Ia berharap Ayah masih hidup dan memarahi kakaknya.

Ia juga sering bersikap buruk. Tidak menahan diri dari membalas berbuat jahat pada burung-burung yang menyebalkan. Ia berharap Ayah masih hidup dan menasihatinya bagaimana sebaiknya hidup yang tak hitam putih dijalani. Ia kini menyadari, meski selama hidup secara fisik Ayah tidak dekat, Ayah membuat nilai-nilainya tak hanya dekat, tapi menjaga dan senantiasa mengembalikan, bahkan saat Ayah sudah tidak ada. Ia rindu Ayah. Ia sering rindu Ayah, dengan atau tanpa alasan.



"It has been long day without you, I'll tell you all about it when I see you again. See you again."



Selasa, 11 Agustus 2015

Manusia

: Kalian kalau sudah besar nanti mau punya anak berapaa?

: dua

: dua atau tiga

: aku tujuh :3

: banyak amaaaat

:biar rame. aku suka rumah yang rame. tapi ngelahirin tu sakit sih ya

:aku takut ngga bisa ngedidiknya kalau banyak. tanggung jawabnya besar

: sejarah perempuan itu sejarah rasa sakit ya. dari haid, melahirkan, nyapih anak aja suka sampai demam.

: apa ya kita yang ngga sakit..

:kenapa sih kita harus melahirkan. kenapa ngga membelah diri atau bertunas aja biar ngga sakit

: kayak amoeba, atau pohon pisang

: emang kamu udah pernah ngerasain jadi amoeba? Siapa tahu membelah diri itu sakit

: iya ya. manusia memang suka sok tahu, bahkan terhadap amoeba dan pohon pisang

: siapa tahu amoeba sama pohon pisang itu waktu membelah diri menderita. mereka nangis

:( :( :(

Senin, 20 Juli 2015

Sedih #1

Ia sedih, belum pernah sesedih ini. Bukan ia jarang bersedih, meski bersedih biasanya ia masih mampu bertemu orang-orang. Tertawa bersama mereka, bersikap seolah-olah ia tak sedang bersedih. Hampir selalu berhasil. Tapi kali ini kesedihannya tak sanggup membuatknya berpura-pura. Ia tak mau menemui orang-orang.

Ia berkendara, pergi ke Selatan jauh. Menyetel lagu-lagu sedih kesukaannya. Melakukan perjalanan biasanya bisa mengobati rasa sedihnya. Jalanan lenggang, mungkin jalanan tahu ia sedang sedih. Jalanan tak enak hati bila membuatnya tambah bersedih dengan kemacetan yang kerap membuat orang marah. Orang yang mudah marah mudah bersedih. Atau jalanan ingin ia menikmati kesedihannya dengan syahdu, lagu-lagu sedih bisa didengarkan dengan khusyuk karena tak banyak bising klakson di jalanan. Bising klakson membuat orang mudah marah. Jalanan lenggang.

Sampai di Selatan jauh, ia mengurung diri. Di tempat asal ia juga dapat mengurung diri, tapi ia merasa harus berkendara jauh untuk mengobati rasa sedihnya, maka ia mengurung diri di Selatan jauh. Lagu-lagu sedih kesukaannya masih diputar. Lalu seseorang datang menemuinya. Ia sedang ingin sendiri, tapi tak terlalu masalah, di hadapan orang itu ia tak harus berpura-pura sedang tidak bersedih. Dengan wajah sedih, ia bertanya pada orang itu, "Bagaimana caranya supaya tetap jadi orang baik? Bagaimana.. bagaimana.." Orang itu tak punya banyak jawaban atas pertanyannya yang banyak. Alih-alih, orang itu menceritainya kisah seorang ibu.

Orang itu pergi, ia masih bersedih. Ia lalu tidur, berhari-hari, ia tak makan. Rasa sedihnya sanggup mengalahkan rasa lapar. Berhari-hari kemudian, saat rasa lapar yang sangat mengalahkan rasa sedihnya, ia berkendara lagi, mencari makan. Ia menemukan sebuah gubuk sederhana, makanannya enak sekali. Mengingatkannya pada kisah seorang ibu. Ia jadi gembira. Lalu ia berkendara, ke tempat asal. Berkemas-kemas, berkendara lagi, menemui orang-orang. ***