Kamis, 18 Agustus 2016

Kapan Sudah

"Saya suka merasa clueless dengan diri sendiri," matanya menghindari kontak, seharian tadi ia baru saja menghabiskan waktu dengan manusia lain. Pergi konseling, lalu pergi nonton dan makan dengan pendampingnya yang lain dan teman dekat.

"Dari pertemuan pertama dua bulan lalu ke sekarang sudah banyak kemajuan. Terlihat lebih fresh dan tenang :)" ia menirukan ucapan konselornya. Ia juga menyadarinya, dan memang itu tujuannya menarik diri dulu dari orang-orang: memberi waktu pada dirinya, agar tenang, bisa berdamai dengan diri sendiri lalu bisa kembali mencintai dirinya agar bisa kembali punya mimpi lalu bisa melanjutkan hidup dengan mandiri. Semoga lekas, ia berharap.

Menonton, makan, mengobrol, tiga jam dan ia sudah mulai merasa kelelahan. Tak apa, pertemuan kali ini ia menyadari satu hal: ia takut dengan waktu sekarang dan dirinya yang sekarang sehingga ia membenci waktu sekarang dan dirinya, berharap segera besok atau nanti kapanpun yang bukan sekarang karena berharap nanti kondisinya sudah baik, sudah sembuh. Main dengan manusia kali ini membuatnya sadar itu sebab kali ini dia bisa menikmati waktu sekarang, mencintai dirinya yang sedang menonton dan makan itu, nyaman dan bisa berinteraksi tanpa ketakutan yang disimpan diam-diam. Bahwa tiga jam sudah merasa lelah, cukup terbayar dengan ia mulai bisa mencicipi rasanya kembali mencintai sekarang, ia jadi paham kenapa orang-orang normal di sekelilingnya bisa mencintai hidupnya, mencintai aktivitasnya sehari-hari tanpa merasa asing mengapa masih berada di hidup ini alih-alih memilih mampus.

Paling sepulangnya hanya butuh menangis sepuasnya, tak akan ada panic attack. Hitungannya benar, tak ada panic attack. Ia menangis sembari mengigau minta obat tidur seperti sudah-sudah. Tentu saja tidak diberi. Menangis setelah bertemu manusia memang situasi yang tidak mudah baginya. Di saat seperti itu rasa bencinya pada diri sendiri muncul kuat. Karena ia tahu ia sedang tak bisa benar-benar sadar, ia sedang tidak bisa mengontrol dirinya dan berfungsi sebagaimana manusia seharusnya, ia sedang dibayangi oleh ketakutan dan itu membuatnya membenci benar.

Tapi ini akan segera terlewati, bertemu manusia lalu sejenak kembali tidak waras hanyalah bagian dari proses yang harus dilewatinya untuk sembuh. Ia puas menangis dan mengigau, sudah lebih tenang. Nanti bisa berlatih bertemu manusia lagi.

Tapi ternyata, setelahnya, datang serangan tak ia duga dan belum pernah ia tahu, itu membuatnya shock. Kepalanya sakit sekali, kepercayaan dirinya yang sedang pelan-pelan ia bangun seperti diserang tiba-tiba, direngut tanpa sisa, sisa dirinya yang gamang dihempaskan ke kolam renang tanpa dasar yang menakutkan. Ia limbung, rasa bencinya menjadi-jadi. Ia benci dengan dirinya yang sedang diserang perasaan yang ia belum tahu apa. Ia benci pada dirinya yang sepulang bertemu teman dekat saja kelelahan. Ia benci, ia benci. Ia benci bertemu orang. Ia benci tak bisa berfungsi normal selain bersama pendamping. Ia benci, ia hanya ingin sudah, ingin sudah. Sudah. Sudah. Hari esok atau nanti atau kapanpun yang bukan sekarang tak akan pernah membaik, tidak akan pernah ada baik. Ia hanya ingin sudah, tapi ia tahu, ia masih takut mati. Tapi ia ingin sudah. Ingin sudah.

Ternyata ada yang lebih menakutkan dari serangan kepanikan, adalah semacam serangan kosong setelah kesembuhan yang sedang pelan-pelan kau bangun direngut tiba-tiba, tiba-tiba seperti kamu mengedip semuanya sudah hilang direngut, tak ada pertanda, tak ada alarm ketakutan mendesir sebelumnya. Sekedip mata kamu ditinggalkan kosong dan terkejut. Tak bersisa, tak berdasar. Tubuhmu seperti tidak nyata, dan tidak ada yang ditinggalkan untuk bisa berharap esok lebih baik. Itu menakutkan, melebihi serangan ketakutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar