Rabu, 10 Agustus 2016

Takut, Marah dan Setan

Perasaannya kacau. Janji konsultasi dengan dengan konselor berantakan karena admin lembaga luput. Konsultasi kali kedua, sengaja ia memberanikan datang sendiri tanpa didampingi siapa-siapa, batal dan konselornya sedang tidak ada di tempat. Menempuh perjalanan umum dari kota T ke kota J nyaris dua jam.

Ia ingin menangis di tempat, tapi ia sanggup menenangkan diri. Ia ingin marah -- perasaan-perasaan, rasa sakit, ketakutan, kisah-kisah, dan rahasia yang berhasil ia simpan dengan baik yang hanya ingin ia ceritakan kepada konselornya seorang terasa sejenak merengut, tapi ia sanggup mengendalikan  diri dengan lekas. Ia tidak jadi menangis, ia tidak jadi marah, tapi ia masih kacau. Gamang, pulang -- menangis lalu tidur seharian -- atau menemui teman dekat yang janji pertemuan datang darinya.

Ia membenci berjumpa dengan orang, orang-orang yang mengenalnya dan ia kenal. Ia senantiasa ketakutan sebelum perjumpaan yang direncana atau tidak, ia takut tidak bisa mengobrol dengan baik, ia takut kikuk, ia takut orang-orang itu tidak bisa menerima dan memakluminya jika ia hanya diam, atau tenaganya sudah habis untuk pura-pura terlihat baik-baik saja dan untuk terlibat dalam percakapan, bahkan bila dengan yang dulu ia anggap teman terdekat sekalipun. Ia tidak bisa menikmati perjumpaan dengan manusia.

Tapi kapan lagi ia berani bertemu dengan teman, ia sendiri yang menawarkan, dalam waktu yang tampaknya akan agak lama -- lebih dari satu dua jam batas kesanggupannya bertemu dengan orang lain sebelum ini-- dan sendirian, tanpa ditemani orang yang mendampinginya berpergian keluar selama ini. Ia memutuskan tetap memberanikan diri. Ia sudah menghitung, rasanya ia dalam kondisi mental yang sudah lebih siap untuk menambah daftar orang yang mentalnya ia percaya untuk ia temui secara personal dan sendirian, orang yang akan ia temui ini ingin ia masukkan ke dalam daftarnya yang sebelumnya berisi tiga orang saja.

Ia menemui orang itu, teman perempuannya. Ia bisa mengobrol dengan baik, ia berani terbuka, kemampuannya bercanda dan menggoda orang datang kembali. Itu membuatnya senang, sejenak kembali percaya diri. Mereka pergi ke museum galeri. Datang teman dari teman perempuannya, ia mengenal sudah agak lama, banyak orang-orang di antara mereka yang terhubung dan itu bisa jadi bahan obrolan. Ia agak takut sebelum orang lain itu datang, seperti yang sudah-sudah, ia takut tidak bisa merespons obrolan dengan baik, ia takut terlihat takut, ia takut dengan orang lain. Tapi ia lagi-lagi bisa mengendalikan ketakutannya, orang lain itu datang dan mereka mengobrol. Ia berani bertanya dan mendengarkan, antusiasme terdahap orang lain yang selama ini hilang. Ia bisa menikmati perjumpaan. Itu membuatnya senang.

Tapi ternyata lima jam adalah batas kesanggupannya. Ia sudah mulai linglung, jalan menyasar, lupa letak toilet yang sudah ia tahu satu jam lalu dan masuk ke toilet dengan membenturkan kepala ke tembok, tidak sengaja tentu. Ia memutuskan pulang. Sepanjang jalan pulang ia terus ingin menangis, ternyata ia masih belum bisa seperti dulu, ia belum bisa mendapatkan dirinya kembali, bagaimana jika orang lain tadi tidak bisa memakluminya ia yang mulai terlihat linglung dan aneh di obrolan, bagaimana bila ia terlihat sedih dan selalu sedih padahal orang normal tidak boleh melulu terlihat sedih.

Tapi ia sanggup mengendalikan dirinya lagi. Ia menenangkan diri dengan, lima jam adalah perkembangan dan tingkat daya tahan yang baru untuknya. Ia senang, ada peningkatan, tinggal banyak-banyak berlatih. Berlatih bertemu manusia, terutama yang ia kenal dan mengenalnya.

Ia tidur.

Tengah malam saat terbangun, panic attack menyerangnya. Beberapa kali ia mendapatinya, kali ini agak ringan. Ia tidak tengah tidur sendirian dan yang ada di sampingnya adalah orang yang ia percaya, itu membantunya. Pagi hari saat bangun lagi, panic attack masih kembali: ia menangis, bergemetar, ketakutan, sesak, tidak mau bertemu orang, tidak mau berbicara, tidak benar-benar sadar, dan marah. Orang yang ia anggap sudah mati dan ia sedang tidak mau berurusan sama sekali karena ia bertekad ingin bisa sembuh: bisa kembali seperti ia yang dulu, mencintai hidup, bisa mencintai dirinya lagi, memaafkan dirinya, berdamai dengan dirinya, memaafkan semua yang sudah terjadi di belakang sana -- kembali muncul di pikirannya dan membuatnya marah. Marah karena orang itu telah membuat ia jadi seperti ini, kehilangan diri.

Ia marah bercampur takut ternyata alam bawah sadarnya masih ketakutan dengan hadirnya ia yang dulu: senang bertemu orang, terbuka, senang bercerita dan mendengarkan cerita, percaya diri dan mencintai dirinya -- semua hal dari ia yang dulu. Sebab ia menolak sakit seperti dulu.

Ia marah mengapa ia harus berlatih bertemu manusia, berlatih kembali punya mimpi, berlatih mencintai hidupnya. Ia lelah, ia merasa latihan itu hanya sampah dan berguna diperuntukkan bagi orang-orang normal di luar sana, bukan untuknya. Persetan dengan berlatih, persetan dengan kembali ceria dan memiliki mimpi. Ia tidur lagi, lama.

Ia tidur hingga sore hari. Bangunnya, merasa lebih tenang dan waras. Saat panic attack selalu membuatnya jera bertemu orang-orang, tapi setelah lebih tenang, ia tahu ia membaik dan tak ada jalan lain selain terus berusaha membaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar